Selasa, 09 April 2013

Upacara Adat DiKalimantan Selatan


Upacara Adat Kalimantan Selatan


1. Upacara Adat Aruh Bahari
Lima balian (tokoh adat) yang memimpin upacara ritual ,berlari kecil sambil membunyikan gelang hiang (gelang terbuat dari tembaga kuningan) mengelilingi salah satu tempat pemujaan sambil membaca mantra, Dihadiri warga Dayak sekitarnya.
Prosesi adat ini dikenal dengan Aruh Baharin, pesta syukuran yang dilakukan gabungan keluarga besar yang  berhasil panen padi di pahumaan (perladangan) . Upacara Adat Aruh Baharin, Pesta yang berlangsung tujuh hari itu terasa sakral karena para balian yang seluruhnya delapan orang itu setiap malam menggelar prosesi ritual pemanggilan roh leluhur untuk ikut hadir dalam pesta tersebut dan menikmati sesaji yang dipersembahkan.
Upacara Adat Aruh Baharin, Prosesi berlangsung pada empat tempat pemujaan di balai yang dibangun sekitar 10 meter x 10 meter. Prosesi puncak dari ritual ini terjadi pada malam ketiga hingga keenam di mana para balian melakukan proses batandik (menari) mengelilingi tempat pemujaan. Para balian seperti kerasukan saat batandik terus berlangsung hingga larut malam dengan diiringi bunyi gamelan dan gong.
Untuk ritual pembuka, disebut Balai Tumarang di mana pemanggilan roh sejumlah raja, termasuk beberapa raja Jawa, yang pernah memiliki kekuasaan hingga ke daerah mereka.
Selanjutnya, melakukan ritual Sampan Dulang atau Kelong. Ritual ini memanggil leluhur Dayak, yakni Balian Jaya yang dikenal dengan sebutan Nini Uri. Berikutnya, Hyang Lembang, ini proses ritual terkait dengan raja- raja dari Kerajaan Banjar masa lampau.
Para balian itu kemudian juga melakukan ritual penghormatan Ritual Dewata, yakni mengisahkan kembali Datu Mangku Raksa Jaya bertapa sehingga mampu menembus alam dewa. Sedangkan menyangkut kejayaan para raja Dayak yang mampu memimpin sembilan benua atau pulau dilakukan dalam prosesi Hyang Dusun.
Pada ritual-ritual tersebut, prosesi yang paling ditunggu warga adalah penyembelihan kerbau. Kali ini ada 5 kerbau. Berbeda dengan permukiman Dayak lainnya yang biasa hewan utama kurban atau sesaji pada ritual adat adalah babi, di desa ini justru hadangan atau kerbau.
warga dan anak-anak berebut mengambil sebagian darah hewan itu kemudian memoleskannya ke masing-masing badan mereka karena percaya bisa membawa keselamatan. Daging kerbau itu menjadi santapan utama dalam pesta padi tersebut.
”Baras hanyar (beras hasil panen) belum bisa dimakan sebelum dilakukan Aruh Baharin. Ibaratnya, pesta ini kami bayar zakat seperti dalam Islam,” kata Narang.
Sedangkan sebagian daging dimasukkan ke dalam miniatur kapal naga dan rumah adat serta beberapa ancak (tempat sesajian) yang diarak balian untuk disajikan kepada dewa dan leluhur.
Menjelang akhir ritual, para balian kembali memberkati semua sesaji yang isinya antara lain ayam, ikan bakar, bermacam kue, batang tanaman, lemang, dan telur. Ada juga penghitungan jumlah uang logam yang diberikan warga sebagai bentuk pembayaran ”pajak” kepada leluhur yang telah memberi mereka rezeki.
Selanjutnya, semua anggota keluarga yang menyelenggarakan ritual tersebut diminta meludahi beberapa batang tanaman yang diikat menjadi satu seraya dilakukan pemberkatan oleh para balian. Ritual ini merupakan simbol membuang segala yang buruk dan kesialan.
Akhirnya sesaji dihanyutkan di Sungai Balangan yang melewati kampung itu. Bagi masyarakat Dayak, ritual ini adalah ungkapan syukur dan harapan agar musim tanam berikut panen padi berhasil baik.
lokasi terletak sekitar 250 kilometer utara Banjarmasin ,Desa Kapul, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan. (Aruh Baharin, Pesta Padi Dayak Halong kompas.com)
2. Upacara Adat Maccera Tasi
Upacara Adat Macceratasi merupakan upacara adat masyarakat nelayan tradisional di Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan. Upacara ini sudah berlangsung sejak lama dan terus dilakukan secara turun-temurun setiap setahun sekali. Beberapa waktu lalu, upacara ini kembali digelar di Pantai Gedambaan atau disebut juga Pantai Sarang Tiung.
Prosesi utarna Macceratasi adalah penyembelihan kerbau, kambing, dan ayam di pantai kemudian darahnya dialirkan ke laut dengan maksud memberikan darah bagi kehidupan laut. Dengan pelaksanaan upacara adat ini, masyarakat yang tinggal sekitar pantai dan sekitarnya, berharap mendapatkan rezeki yang melimpah dari kehidupan laut.
Kerbau, kambing, dan ayam dipotong. Darahnya dilarungkan ke laut. Itulah bagian utama dari prosesi Upacara Adat Macceratasi. Kendati intinya hampir sama dengan upacara laut yang biasa dilakukan masyarakat nelayan tradisional lainnya. Namun upacara adat yang satu ini punya hiburan tersendiri. 
 Sebelum Macceratasi dimulai terlebih dahulu diadakan upacara Tampung Tawar untuk meminta berkah kepada Allah SWT. Sehari kemudian diadakan pelepasan perahu Bagang dengan memuat beberapa sesembahan yang dilepas beramai-ramai oleh nelayan bagang, baik dari Suku Bugis, Mandar maupun Banjar. Keseluruhan upacara adat ini sekaligus melambangkan kerekatan kekeluargaan antarnelayan.
Untuk meramaikan upacara adat ini, biasanya disuguhkan hiburan berupa kesenian hadrah, musik tradisional, dan atraksi pencak silat. Usai pelepasan bagang, ditampilkan atraksi meniti di atas tali yang biasa dilakukan oleh lelaki Suku Bajau. Atraksi ini pun selalu dipertunjukkan bahkan dipertandingkan pada saat Upacara Adat Salamatan Leut (Pesta Laut) sebagai pelengkap hiburan masyarakat.
3. Upacara Adat Babalian Tandik
Selain Upacara Adat Macceratasi, Kabupaten Kota Baru juga mempunyai upacara adat lainnya, seperti Upacara Adat Babalian Tandik, yakni kegiatan ritual yang dilakukan oleh Suku Dayak selama seminggu. Puncak acara dilakukan di depan mulut Goa dengan sesembahan pemotongan hewan qurban. Upacara ini diakhiri dengan Upacara Badudus atau penyiraman Air Dudus. Biasanya yang didudus (disiram) seluruh pengunjung yang hadir sehingga mereka basah semua.
4. Upacara Adat Mallasuang Manu, yakni upacara melepas sepasang ayam untuk diperebutkan kepada masyarakat sebagai rasa syukur atas melimpahnya hasil laut di Kecamatan Pulau Laut Selatan. Upacara ini dilakukan Suku Mandar yang mendominasi kecamatan tersebut, setahun sekali tepatnya pada bulan Maret. Upacara ini berlangsung hampir seminggu dengan beberapa kegiatan hiburan rakyat sehingga berlangsung meriah.
Upacara Adat Macceratasi, biasanya diadakan menjelang perayaan tahun baru di Pantai Gedambaan, Kabupaten Kota Baru. Mudah menjangkau kabupaten berjuluk Bumi Saijaan ini. Dari Jakarta naik kapal terbang ke Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin. Keesokan paginya melanjutkan perjalanan udara dengan pesawat Trigana Air ke Bandara Stagen, Kota Baru. Bisa juga naik Kapal Cepat Kirana Jawa-Sulawesi-Kalimantan. Selanjutnya mencarter mobil travel ke lokasi upacara.
Ritual khas kaum muda mudi suku Mandar yang berdomisili di Kecamatan Laut Selatan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Mallassung Manu adalah sebutan bagi ritual adat melepas beberapa pasang ayam jantan dan betina sebagai bentuk permohonan meminta jodoh kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pesta adat yang juga telah menjadi event wisata ini dilakukan secara turun temurun di Pulau Cinta, sebuah pulau kecil yang konon berbentuk hati dan berjarak sekitar dua mil dari Pulau Laut, pulau terbesar di perairan tenggara Kalimantan yang menjadi Ibu Kota Kabupaten Kotabaru. Pulau Cinta memiliki luas sekitar 500 m2 dan hanya terdiri dari batu-batu besar dan sejumlah pohon di dalamnya.
Dalam pesta adat yang unik ini, para peserta berangkat secara bersama-sama dari Pulau Laut (Kotabaru) menuju Pulau Cinta dengan menggunakan perahu. Sesampainya di Pulau Cinta, pesta adat melepas sepasang ayam jantan dan betina dilaksanakan dengan disaksikan oleh ribuan penonton
Keinginan agar mudah mencari jodoh dapat melahirkan ekspresi budaya yang khas. Kekhasan itulah yang dapat disaksikan dalam Pesta Adat Malassuang Manu. Ritual utama dalam upacara ini, yaitu melepas ayam jantan dan betina, dilaksanakan di atas sebuah batu besar yang bagian tengahnya terbelah sepanjang kira-kira 10 meter. Dari atas batu itu, sepasang ayam tersebut dilemparkan sebagai tanda permohonan kepada Tuhan supaya dimudahkan dalam mencari jodoh.
Usai melepas sepasang ayam tersebut, para muda-mudi ini kemudian mengikatkan pita atau tali rafia (yang di dalamnya telah diisi batu atau sapu tangan yang indah) di atas dahan atau ranting pepohonan yang terdapat di Pulau Cinta. Hal ini sebagai perlambang, apabila kelak memperoleh jodoh tidak akan terputus ikatan tali perjodohannya sampai maut menjemput.
Kelak, pita atau tali rafia tersebut akan diambil kembali bila permohonan untuk bertemu jodoh telah terkabul. Pasangan yang telah berjodoh ini akan kembali ke Pulau Cinta untuk mengambil pita atau tali rafia tersebut dengan menggunakan perahu klotok yang dihias dengan kertas warna-warni. Makanan khas yang selalu menjadi hidangan dalam ritual kedua ini adalah sanggar (semacam pisang goreng yang terbuat dari pisang kepok yang dibalut dengan tepung beras dan gandum dengan campuran gula dan garam), serta minuman berupa teh panas.
Pasangan ini akan diiringi oleh sanak saudara untuk mengadakan selamatan. Usai memanjatkan doa, mereka kemudian melepaskan pita atau tali rafia yang dulu diikatkan di dahan atau ranting pohon untuk disimpan sebagai bukti bahwa keinginannya telah terkabul. Selain itu, ritual kedua ini juga merupakan permohonan supaya dalam kehidupan selanjutnya selalu dibimbing menjadi keluarga yang sejahtera.
Pesta adat yang pelaksanaannya didukung oleh pemerintah daerah setempat ini juga dimeriahkan oleh tari-tarian adat dan berbagai macam perlombaan, seperti voli, sepakbola, dan lain-lain. Berbagai event lomba tersebut biasanya akan memperebutkan trophy Bupati Kotabaru atau Gubernur Kalimantan Selatan.
Biasanya Pesta Mallasung Manu diselenggarakan pada bulan Maret—April
Pesta adat Mallassuang Manu diselenggarakan di Teluk Aru dan Pulau Cinta, Kecamatan Laut Selatan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, Indonesia.

5. Upacara Adat Mandi Tian Mandaring

Upacara adat dalam memperingati usia kandungan 7 bulan ternyata di Kalimantan Selatan dinamakan Upacara Mandi Tian Mandaring sering pula disebut dengan istilah bapagar mayang,atau urang banjar bemandi-mandi karena tempat mandi dalam upacara itu menggunakan pagar mayang. Upacara ini khusus diadakan untuk wanita hamil yang usia kandungannya sudah mencapai tujuh bulan.
Pada upacara ini disediakan pagar mayang, yaitu sebuah pagar yang sekelilingnya digantungkan mayang-mayang pinang. Tiang-tiang pagar dibuat dari batang tebu yang diikat bersama tombak. Di dalam pagar ditempatkan perapen, air bunga-bungaan, air mayang, keramas asam kamal, kasai tamu giring, dan sebuah galas dandang diisi air yang telah dibacakan doa-doa.
Wanita tian mandaring yang akan mandi di upacara itu akan didandani dengan pakaian sebagus-bagusnya. Setelah waktu dan peralatan yang ditentukan sudah siap, wanita tian mandaring dibawa menuju pagar mayang sambil memegang nyiur balacuk dengan dibungkus kain berwarna kuning. Saat berada dalam pagar mayang untuk dimandikan, pakaian yang dikenakan diganti kain kuning kemudian wanita hamil tadi didudukkan di atas kuantan batiharap dengan beralaskan bamban bajalin. Lima atau tujuh orang wanita tua secara bergantian menyiram dan melangir kepala wanita tian mandaring dengan air bunga-bungaan yang telah disediakan.
Salah seorang wanita yang dianggap paling berpengaruh diserahi tugas memegang upung mayang yang masih terkatup tepat diatas kepala. Kemudian upung mayang tersebut dipukul sekeras-kerasnya hanya satu kali pukulan. Apabila upung mayang tersebut dipukul satu kali sudah pecah maka merupakan pertanda baik, bahwa wanita tian mandaring tidak akan mengalami gangguan sampai melahirkan.
Kambang mayang yang ada di dalam upung dikeluarkan lalu disiramkan dengan air ke kepala sebanyak tiga kali. Siraman yang pertama tangkai posisinya harus mengarah ke atas, siraman kedua tangkai mayang harus berada di bawah dan siraman yang ketiga ditelentangkan dan ditelungkupkan.
Kambang mayang yang berada di tengah-tengah diambil sebanyak dua tangkai, kemudian diletakkan di sela-sela kedua telinga sebagai sumping. Berikutnya adalah memasukkan lingkaran benang berulas-ulas, mulai dari kaki tiga kali berturut-turut. Pada waktu memasukkan wanita tian mandaring maju melangkah ke depan setapak, memasukkan kedua mundur, memasukkan ketiga maju lagi setapak.
Pada pintu pagar mayang ditempatkan kuali tanah dan telur ayam, begitu keluar pagar mayang kuali dan telur itu harus diinjak oleh si wanita tian mandaring sampai pecah. Selesai upacara ini wanita tian mandaring dibawa ke dalam rumah beserta undangan yang hanya boleh dihadiri oleh wanita. Di hadapan hadirin rambutnya disisir, dirias dan digelung serta diberi pakaian bagus. Sebuah cermin dan lilin yang sedang menyala diputar mengelilingi wanita tian mandaring dan dilakukan sebanyak tiga kali, sambil ditapung tawari dengan minyak likat baboreh. Sumbu lilin yang telah hangus disapukan ke ulu hati wanita tian mandaring dengan maksud untuk mendapatkan keturunan yang rupawan dan baik hati. Upacara ini diakhiri dengan bersalam-salaman sambil mendokan wanita tian mandaring.


6. Upacara Basunat Kalimantan Selatan
1. Asal-usul
Basunat bagi masyarakat Banjarmasin, Kalimantan Selatan, merupakan hal yang sangat penting. Bahkan, keislaman seseorang belum dianggap sempurna apabila orang tersebut belum bersunat. Oleh karenanya, orang-orang Banjar sejak masih anak-anak (laki-laki berumur antara 6 – 12 tahun, dan perempuan biasanya lebih muda) telah disunat (Alfani Daud, 1997: 252). Asa bakalalangan haja kaalah kita (terasa mengganggu perasaan kita), demikian biasanya orang-orang mengomentari orang-orang Islam (bersyahadat) yang belum disunat. Selain dilakukan oleh kalangan orang Islam untuk menyempurnakan keislamannya, ternyata sunat juga dipraktekkan oleh masyarakat lokal yang masih menganut agama Balian maupun yang beragama Kristen (ibid). Namun sayang, belum ada cukup informasi yang menjelaskan mengapa mereka mempraktekkan sunat.

 


7. Upacara Aruh Ganal

 





1. Asal-Usul
Bahuma atau berladang bagi masyarakat Dayak di Kalimantan tidak semata-mata merupakan aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga aktivitas religius untuk berhubungan dengan Sang Maha Pemberi Rizqi. Ada juga yang menyebutkan bahwa aktivitas bertani yang dijalankan oleh masyarakat Dayak merupakan bagian dari religi huma. Puncak dari tradisi ritual bahuma adalah Aruh Ganal (kenduri besar), yaitu pesta yang diadakan setelah panen raya sebagai ungkapan syukur atas rizqi yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Selain itu, Aruh Ganal juga sebagai permohonan agar hasil pada musim tanam berikutnya semakin melimpah dan dijauhkan dari hama perusak tanaman. 

 8. Upacara Baayun Mulud

 
 
Salah satu tradisi masyarakat Banjar yang ramai dilakukan pada saat bulan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah tradisi upacara baayun mulud. Baayun asal katanya dari ‘ayun’, jadi bisa diterjemahkan bebas ‘melakukan proses ayunan/buaian’. Bayi yang mau ditidurkan biasanya akan diayun oleh ibunya, ayunan ini memberikan kesan melayang-layang bagi si bayi sehingga ia bisa tertidur lelap. Asal kata ‘mulud’ dari sebutan masyarakat untuk peristiwa maulud Nabi.
Upacara ini dilakukan di dalam masjid, pada ruangan tengah masjid dibuat ayunan yang membentang pada tiang-tiang masjid. Ayunan yang dibuat ada tiga lapis, lapisan atas digunakan kain sarigading (sasirangan), lapisan tengah kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari sari kunyit), dan lapisan bawah memakai kain bahalai (kain panjang tanpa sambungan jahitan).
Pada bagian tali ayunan diberi hiasan berupa anyaman janur berbentuk burung-burungan, ular-ularan, katupat bangsur, halilipan, kambang sarai, rantai, hiasan-hiasan mengunakan buah-buahan atau kue tradisional seperti cucur, cincin, kue gelang, pisang, kelapa, dan lain-lain.
Kepada setiap orang tua yang mengikutsertakan anaknya pada upacara ini harus menyerahkan piduduk, yaitu sebuah sasanggan yang berisi beras kurang lebih tiga setengah liter, sebiji gula merah, sebiji kelapa, sebiji telur ayam, benang, jarum, sebongkah garam, dan uang perak. Piduduk ini bukan maksud untuk musyrik tetapi nanti akan dimakan beramai-ramai oleh orang yang hadir. Upacara baayun mulud ini sudah merupakan upacara tahunan yang selalu digelar bersama-sama oleh masyarakat Banjar.
Peserta baayun mulud ini tidak terbatas pada bayi yang ada di kampung yang melaksanakan saja, tetapi boleh saja peserta dari kampung lain ikut meramaikan. Bahkan saat ini ada saja orang yang sudah tua ikut baayun karena mereka merasa waktu kecil dulu tidak sempat ikut upacara baayun mulud. Dalam upacara nanti akan dibacakan berbagai syair, seperti syair barzanji, syair syarafal anam, dan syair diba’i. Anak-anak yang ingin diayun akan dibawa saat dimulai pembacaan asyarakal, si anak langsung dimasukkan ke dalam ayunan yang telah disediakan.
Saat pembacaan asyarakal dikumandangkan, anak dalam ayunan diayun secara perlahan-lahan dengan cara menarik selendang yang diikat pada ayunan. Maksud diayun pada saat itu adalah untuk mengambil berkah atas kemuliaan Nabi Muhammad SAW, orang tua yang hadir berharap anak yang diayun menjadi umat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan RasulNya.
Upacara baayun mulud dilaksanakan pada pagi hari dimulai pukul 10.00, lebih afdhol apabila dilaksanakan bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal. Bagi orang tua yang mendapat kesempatan untuk mengikutsertakan anaknya dalam upacara ini akan merasa sangat bahagia dan beruntung.
Tradisi yang dilakukan secara massal ini sebagai pencerminan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya atas kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat bagi sekalian alam, upacara ini diibatkan melakukan penyambutan berupa puji-pujian yang diucapkan dalam syair-syair merdu.

 9. Upacara Mandi Pengantin ( Badudus )

 
A.       Upacara mandi Pengantin (Badudus)
Upacara badudus atau bepapai merupakan upacara yang dilakukan pada masa peralihan antara masa remaja dengan masa dewasa, yang merupakan ritual yang dilakukan untuk memebersihkan jiwa dan raga. Calon pengantin yang akan memasuki jenjang perkawinan dinobatkan sebagai orang dewasa dan harus melalui upacara mandi pengantin (badudus). Selain itu upacara mandi pengantin juga merupakan sarana untuk membentengi diri dari berbagai gangguan yang tidak diinginkan. Karena kalau tidak dipersiapkan penangkalnya kemungkinan kedua mempelai yang akan melangsungkan pernikahan terserang penyakit, dan kehidupan rumah tangganya kelak akan  digoyahkan oleh berbagai macam rintangan atau dapat dogoyahkan keserasiannya setelah kawin nanti.
1.      Asal-usul mandi pengantin (Badudus)
Asal muasal munculnya ritual BAdudus adalah di Tengarai dari tradisi yang berlaku pada zaman kerajaan Negara Dipa (sekitar tahun 1355 M) dan kerajaan Negara daha (sekitar tahun 1448 M). dua kerajaan yang muncul secara berurutan ini merupakan bagian dari mata rantai sejarah kesultanan Banjar yang baru didirikan pada tahun 1525 M. Masyarakat Banjar meyakini bahwa ritual  Badudus harus dilakukan pada waktu-waktu tertentu sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh-tokoh kerajaan masyarakat lokal percaya bahwa leluhur mereka itu masih hidup di alam gaib dan sewaktu-waktu dapat diundang dalam acara-acara ritual tertentu, kepercayaan ini dianut secara turun-temurun, dan jika tidak dilaksanakan, maka diyakini dapat menimbulkan malapetaka. Pada zaman dahulu, Badudus menjadi ritual yang khusus dilakukan hanya pada saat acara penobatan seorang raja. Ritual ini hanya boleh dilakukan oleh para keturunan raja-raja, yakni orang-orang masih memiliki garis keturunan/garis darah dengan raja-raja yang pernah berkuasa di kerajaan Negara Daha maupun kerajaan Negara Dipa.
Setelah tidak adanya kerajaan di tanah Banjar, acara Badudus tetap dilaksanakan meski dalam konteks yang berbeda, yakni sebagai rangkaian upacara perkawinan adat Banjar dan upacara kehamilan pertama.
2.      Pelaksanaan Badudus atau Mandi Pengantin
Upacara Badudus dilaksanakan 3 hari harai sebelum perkawinan. Waktu pelaksanaannya sore atau malam hari, untuk melaksanakan upacara mandi pengantin ini, mempelai wanita dicukur alisnya, dibuat cecantung (cambung) rambut dipinggir dahi dipotong dan dirias secukupnya. Dalam upacara tersebut disediakan pula piduduk seperti acara tapung tawar, piduduk tersebut terdiri atas:
1)        Seekor ayam (untuk calon mempelai wanita disediakan ayam betina, dan untuk calon memeplai laki-laki disediakan seekor  ayam jantan).
2)      5 dipak beras ketan
3)      3 biji telur ayam
4)      Gula merah
5)      Sebiji kelapa
6)      Sebatang lilin
7)      Sebiji uang perak
8)      Pisau
9)      Jarum dan benang.

Adapun perlengkapan dan bahan lainnya yaitu:
1)      dadampar
2)      sasangaan kecil untuk bahan lulur, yakni berupa lulur putih yang dibuat dari tepung beras dan sedikit kunyit.
3)      Mangkuk kaca, untuk wadah bahan keramas.
4)      Gelas dandang atau baskom kanal, untuk tempat menampung air bunga 7 rupa.
5)      Poci atau teku, untuk tempat menampung air yang digunakan sewaktu berdoa
6)      Tempayan atau guci, untuk tempat menampung air mayang, yang terdiri dari mayang mengurai dan mayang terbungkus.
7)      Tempayan atau guci lagi untuk menampung air bersih.
 
  
10. Upacara Batasmiah ( Pemberian Nama )
 
Ketika umur kehamilan seorang ibu telah mencapai 9 bulan maka pihak keluarga harus mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambut kedatangan "warga baru" (sang jabang bayi), Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upacara kelahiran pada masyarakat Banjar adalah: upiah pinang (pelepah pinang), kapit, sembilu, sarung, kain batik, tepung-tawar, madu, kurma, garam, kukulih, seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, dan rempah-rempah untuk memasak ikan.
Upiah pinang digunakan untuk membungkus tembuni (tali pusat). Kapit digunakan sebagai tempat menyimpan tembuni. Sembilu digunakan untuk memotong tali pusat. Sedangkan, sarung atau kain batik digunakan untuk membersihkan tubuh bayi ketika tali pusatnya telah dipotong. Tepung-tawar digunakan untuk menaburi tubuh bayi agar terlepas dari gangguan roh-roh jahat. Madu, kurma atau garam lebah digunakan untuk mengoles bibir bayi. Dan seliter beras, sebiji gula merah, sebiji buah kelapa, rempah-rempah untuk memasak ikan diberikan kepada dukun bayi sebagai ungkapan rasa terima kasih.
Adapun bapalas bidan, ini hanya untuk upacara tertentu  yang biasa ada mengeluarkan darah. Yaitu dengan mengadakan acara selamatan atau memberikan ganti rugi dengan berupa benda tertentu yang biasa, berupa makanan atau uang, karena akibat melukai seseorang yang mengeluarkan darah. Seperti anak dengan anak berkelahi, dan ada yang terluka. Maka menurut adat orang tua, anak yang melukai itu harus memalas kepala anak yang dilukai.
Biasanya diadakan selamatan dengan memberikan uang atau bahan makanan, seperti beras, gula dan nyiur sebagai tanda perdamaian itu. Ada juga memalas ini dengan menyembelih hewan, tapi ini digunakan kalu hendak mendirikan bangunan tertentu, dimana darahnya dioleskan pada tiang bangunan atau pundasi dari bangunan itu agar yang bekerja pada bangunan tersebut tidak terjadi hal yang berbahaya, seperti jatuh, luka dan sebagainya.
Tetapi acara bapalas bidan yang diadakan pada umumnya itu merupakan bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan karunianya, yang menyelamatkan ibu beserta anak yang baru lahir itu, beserta para yang hadir menolong ketika itu. Jadi dengan demikian ini merupakan upacara selamatan untuk keselamatan ibu dan anak yang baru lahir beserta seluruh tetangga dan keluarga, termasuk bidan yang menolong, agar segar kembali seperti sediakala.
Kemudian setelah bayi berumur satu minggu atau lebih, ada upacara yang disebut tasmiah (pemberian nama), dengan susunan acara sebagai berikut: pembacaan Ayat-ayat Suci Al Quran (Surat Ali Imran), pemberian nama oleh mualim atau penghulu, dan barjanji. Sebagai catatan, dalam barjanji itu, ketika dibaca kalimat asyrakal semua hadirin berdiri, kemudian bayi dikelilingkan. Mereka, termasuk mualim atau penghulu, diminta untuk menepung-tawari si bayi dengan baburih-likat. Dengan berakhirnya upacara tasmiah ini, maka berakhirlah rangkaian upacara kelahiran pada masyarakat Banjar.
 11. Upacara Perkawinan Adat Banjar
 
Suku Banjar mengenal Daur Hidup dengan upacara tradisional yang salah satunya adalah Upacara Perkawinan. Upacara ini merupakan salah satu bagian dari Daur Hidup yang harus dilewati.
Dahulu orang Banjar umumnya tidak mengenal istilah “berpacaran” sebelum memasuki jenjang perkawinan seperti yang kita ketahui sekarang. Namun, saat itu hanya dikenal istilah “batunangan”. Yaitu, ikatan kesepakatan dari kedua orang tua masing-masing untuk mencalonkan kedua anak mereka kelak sebagai suami isteri. Proses “batunangan” ini dilakukan sejak masih kecil, namun umumnya dilakukan setelah akil balig. Hal ini hanya diketahui oleh kedua orang tua atau kerabat terdekat saja.

Pelaksanaan upacara perkawinan memakan waktu dan proses yang lama. Hal ini dikarenakan harus melalui berbagai prosesi, antara lain :

1. Basasuluh.
Seorang laki-laki yang akan dikawinkan biasanya tidak langsung dikawinkan, tetapi dicarikan calon gadis yang sesuai dengan sang anak maupun pihak keluarga. Hal ini dilakukan tentu sudah ada pertimbangan-pertimbangan, atau yang sering dikatakan orang dinilai “bibit-bebet-bobot”nya terlebih dahulu. Setelah ditemukan calon yang tepat segera dicari tahu apakah gadis tersebut sudah ada yang menyunting atau belum. Kegiatan ini dalam istilah bahasa Banjar disebut dengan BASASULUH.
2. Batatakun atau Melamar.
Setelah diyakini bahwa tidak ada yang meminang gadis yang telah dipilih maka dikirimlah utusan dari pihak lelaki untuk melamar, utusan ini harus pandai bersilat lidah sehingga lamaran yang diajukan dapat diterima oleh pihak si gadis. Jika lamaran tersebut diterima maka kedua pihak kemudian berembuk tentang hari pertemuan selanjutnya yaitu Bapapayuan atau Bapatut Jujuran.
3. Bapapayuan atau Bapatut Jujuran.
Kegiatan selanjutnya setelah melamar adalah membicarakan tentang masalah kawin. Pihak lelaki kembali mengirimkan utusan, tugas utusan ini adalah berusaha agar masalah kawin yang diminta keluarga si gadis tidak melebihi kesanggupan pihak lelaki.
Untuk dapat menghadapi utusan dari pihak keluarga lelaki, terutama dalam hal bersilat lidah, maka pihak keluarga sang gadis itu pun meminta kepada keluarga atau tetangga dan kenalan lainnya, yang juga memang ahli dalam bertutur kata dan bersilat lidah.
Jika sudah tercapai kesepakatan tentang masalah kawin tersebut. Maka kemudian ditentukan pula pertemuan selanjutnya yaitu Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.
4. Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.
Merupakan kegiatan mengantar masalah kawin kepada pihak si gadis yang maksudnya sebagai tanda pengikat. Juga sebagai pertanda bahwa perkawinan akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para ibu, baik dari keluarga maupun tetangga. Apabila acara Maatar Jujuran ini telah selesai maka kemudian dibicarakan lagi tentang hari pernikahan dan perkawinan.
5. Bakakawinan atau Pelaksanaan Upacara Perkawinan .
Sebelum hari pernikahan atau perkawinan, mempelai wanita mengadakan persiapan, antara lain:
a. Bapingit dan Bakasai.
Bagi calon mempelai wanita yang akan memasuki ambang pernikahan dan perkawinan, dia tidak bisa lagi bebas seperti biasanya, hal ini dimaksudkan untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan (Bapingit).
Dalam keadaan Bapingit ini biasanya digunakan untuk merawat diri yang disebut dengan Bakasai dengan tujuan untuk membersihkan dan merawat diri agar tubuh menjadi bersih dan muka bercahaya atau berseri waktu disandingkan di pelaminan.
b. Batimung.
Hal yang biasanya sangat mengganggu pada hari pernikahan adalah banyaknya keringat yang keluar. Hal ini tentunya sangat mengganggu khususnya pengantin wanita, keringat akan merusak bedak dan dapat membasahi pakaian pengantin. Untuk mencegah hal tersebut terjadi maka ditempuh cara yang disebut Batimung. Setelah Batimung badan calon pengantin menjadi harum karena mendapat pengaruh dari uap jerangan Batimung tadi.
c. Badudus atau Bapapai.
Mandi Badudus atau bapapai adalah uapacara yang dilaksanakan sebagai proses peralihan antar masa remaja dengan masa dewasa dan juga merupakan sebagai penghalat atau penangkal dari perbuatan-perbuatan jahat. Upacara ini dilakukan pada waktu sore atau malam hari. Upacara ini dilaksanakan tiga atau dua hari sebelum upacara perkawinan.
d. Perkawinan (Pelaksanaan Perkawinan)
Upacara ini merupakan penobatan calon pengantin untuk memasuki gerbang perkawinan. Pemilihan hari dan tanggal perkawinan disesuaikan dengan bulan Arab atau bulan Hijriah yang baik. Biasanya pelaksanaan upacara perkawinan tidak melewati bulan purnama.

Kegiatan pada upacara perkawinan ini antara lain:

1). Badua Salamat Pengantin.
Hal ini ditujukan untuk keselamatan pengantin dan seluruh keluarga yang melaksanakan upacara perkawinan itu. Dalam hal ini pembacaan doa-doa dipimpin oleh Penghulu atau Ulama terkemuka di kampung tersebut. Selesai prosesi tersebut para undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang telah disediakan. Hal ini berlangsung hingga acara Maarak Pengantin.
2). Bahias atau Merias Pengantin.
Sekitar jam 10 pagi, tukang rias sudah datang ke rumah mempelai wanita untuk merias. Kegiatan ini meliputi tata rias muka, rambut dan pakian, serta kelengkapan lainnya seperti Palimbayan dan lainnya. Bagi pengantin pria, bahias ini dilakukan setelah sholat Zuhur.
3). Maarak Pengantin.
Apabila pihak pengantin sudah siap berpakaian, maka segera dikirim utusan kepada pihak pria bahwa mempelai wanita sudah menunggu kedatangan mempelai pria. Maka kemudian diadakanlah upacara Maarak Pengantin. Pada waktu maarak pengantin biasanya diiringi dengan kesenian Sinoman Hadrah atau Kuda Gepang. Pihak wanita juga mengadakan hal yang sama untuk menyambut mempelai pria juga untuk menghibur para undangan.
maara2k
4). Batatai atau Basanding.
Kedatangan pengantin pria disambut dengan Salawat Nabi dan ketika Salawat itu dikumandangkan pengantin wanita keluar dari dinding kurung untuk menyambut pengantin pria. Di muka pintu, pengantin pria disambut oleh pengantin wanita, untuk beberapa saat mereka bersanding di muka pintu, kemudian mereka di bawa ke Balai Warti untuk bersanding secara resmi.
batatai
Apabila telah cukup waktu bersanding, kedua mempelai diturunkan dari Balai Warti untuk kemudian dinaikkan keusungan atau dinamakan Usung Jinggung, yang diiringi kesenian Kuda Gepang. Setelah di Usung Jinggung kedua mempelai disandingkan di petataian pengantin yang disebut Geta Kencana. Kemudian dilanjutkan dengan sujud kepada orang tua pengantin wanita dan para hadirin serta memakan nasi pendapatan (Badadapatan). Setelah itu kedua pengantin berganti pakaian untuk istirahat.
e. Bajajagaan Pengantin
Pada malam hari pertama sampai ketiga sejak hari perkawinan, biasanya diadakan acara Bajajagaan atau menjagai pengantin, yang isinya dengan pertunjukan kesenian, seperti Bahadrah atau Barudat (Rudat Hadrah), Bawayang Kulit (Wayang Kulit), Bawayang Gong (Wayang Orang), Mamanda dan sebagainya.
f. Sujud
Tiga hari sesudah upacara perkawinan, kedua mempelai kemuadian di bawa ke rumah orang tua pengantin pria untuk sujud kepada orang tua pengantin pria. Malam harinya juga diadakan acara menjagai pengantin dengan maksud untuk menghibur kedua mempelai yang sedang berkasih mesra itu.
Keesokan harinya mereka dibawa lagi ke rumah mempelai wanita untuk selanjutnya tinggal di tempat mempelai wanita bersama orang tua mempelai wanita untuk mengatur kehidupan berumah tangga. Apabila telah mampu untuk mencari nafkah sendiri barulah berpisah dalam artian berpisah dalam hal makan saja, namun tetap tinggal bersama orang tua mempelai wanita.
Begitulah proses upacara perkawinan yang dilakukan oleh suku Banjar pada masa lalu. Namun pada era globalsasi saat ini tata cara perkawinan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat khususnya masyarakat Banjar. Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman, yang otomatis dianggap tidak sesuai lagi dengan budaya-budaya leluhur seperti contohnya upacara perkawinan tersebut. Dan juga dianggap terlalu bertele-tele. Hal ini tentu sangat menyedihkan bagi kita, budaya leluhur yang diajarkan secara turun temurun malah dengan mudahnya kita tinggalkan tanpa ada upaya untuk melestarikannya. Namun, masih ada juga daerah yang tetap melaksanakan prosesi tersebut. Seperti di daerah Margasari Kab. Tapin, di sana masih dilaksanakan prosesi tersebut, namun tidak semuanya dilaksanakan. Maksudnya ada bagian tertentu yang tidak dilaksanakan lagi karena dianggap sudah tidak sesuai.
Pada masa sekarang dalam hal mencari calon isteri tidak lagi pengaruh orang tua berperan penting, sekarang anak muda dalam hal mencari jodoh ditempuh dengan cara pacaran seperti yang telah dikemukakan di bagian awal tadi. Di masyarakat perkotaan sudah jarang yang memakai tata cara perkawinan seperti ini, namun tentu ada saja orang yang tetap melaksanakannya.
Untuk itu peran pemerintah dan masyarakat sangat diharapkan untuk melestarikan kebudayaan yang kita miliki ini. Negara kita terkenal karena kebudayaannya yang unik untuk itu kita sebagai generasi penerus haruslah melestarikan kebudayaan yang kita miliki.


Demikianlah, kebudayaan dan adat istiadat yang ada dan tumbuh di Kalimantan Selatan cukup banyak variasinya sesuai dengan keadaan kelompok sukubangsa dan kepercayaan yang mereka anut. Meskipun sesungguhnya keberadaan budaya dan adat istiadat itu sudah diketahui, namun tidak dengan begitu saja bisa diterima oleh semua pihak karena keterikatan pada pemahaman masing-masing individu dan kelompok. Apalagi jika budaya dan adat istiadat itu hendak dikaitkan dengan agama dan kepercayaan penganutnya secara murni dapat menimbulkan persoalan yang berbau SARA dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu diperlukan kearifan kita dalam memahaminya supaya kehidupan bermasyarakat selalu harmonis walaupun berbeda budaya, agama dan kepercayaan. (HRN: disusun dari berbagai sumber).
 




1 komentar: